Kasus klasik yang
selalu menyerang gunung-gunung di Indonesia adalah sampah, vandalisme,
dan perambahan hutan. Dua masalah ini juga yang menyerang gunung Gede
dan Gunung Pangrango di Jawa Barat yang masuk dalam kawasan Taman
Nasional Gunung Gede-Pangrango (TNGGP). Tersangka dua masalah utama ini,
sampah dan vandalisme, tentu saja adalah para pendaki gunung itu
sendiri. Selain sebagai pecinta alam, mereka (sebagian) juga berperan
sebagai perusak alam. Bisakah TNGGP bebas sampah?
Di Gunung Gede yang aneh, di bibir jurang di Puncak gunung yang curam, tetap saja ada tulisan dengan pilox.
Saya jadi berpikir, bagaimana caranya manusia ini bisa sampai di lereng
tadi untuk sekedar membuat tulisan tersebut. Kadang hanya tulisan
peryantaan cinta pada seorang gadis.
Selain
tulisan-tulisan iseng tadi, sampah juga menjadi pemandangan yang tidak
sedap sepanjang jalur pendakian di Gede-Pangrango. Kadang saya malu
ketika mengantar rombongan peneliti bule menyusuri hutan hujan tropis di
kawasan TNGGP ini. Mereka memang tidak berkata apa-apa, tapi setelah
melihat rusaknya hutan, sampah, dan vandalisme, mata mereka kemudian
menatap saya, seolah-olah bertanya atau entah menyindir. Saya hanya bisa
menaikkan kedua bahu ketika membalas tatapan mereka.
Puncak
dari masalah ini adalah dikeluarkannya SK.93/11-TU/ 1/2009 oleh Kepala
Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango. Intinya adalah wajib
guide bagi tiap pendaki yang akan melakukan pendakian ke TNGGP. Tapi,
akhirnya peraturan ini kemudian direvisi dan wajib guide hanya
diberlakukan terhadap pendaki tertentu saja. Ini saya sangat setuju.
Juga peraturan tentang kuota dan tes tertulis. Memang seharusnya
demikian. Tapi inipun tidak secara signifikan mengurangi vandalisme dan
sampah di TNGGP.
Check Packing
Dulu
sering sekali saya ngecamp di Pos Montana, pos para sukarelawan yang
membantu teman-teman petugas BBTNGGP. Kegiatan teman-teman ini antara
lain melakukan ronda pada saat musim pendakian sepanjang jalur. Juga
membantu kegiatan Search And Recue, bersih gunung, dan tentu saja melakukan check packing para calon pendaki gunung di TNGGP.
Pada setiap check packing
ini, bawaan pendaki diperiksa satu-satu. Daftar bawaan berpotensi
menjadi sampah di data, kemudian ketika turun akan dicocokkan. Jika pada
saat mendaki membawa mie instan 10 biji, maka ketika turun dia harus
membawa pulang sampah dari 10 bungkus mie instan ini. Juga merasia
senjata tajam, elektronik, juga sabun dan bahan pencemar lainnya.
Pendaki yang ketika turun kedapatan membawa flora dan fauna dari kawasan
Taman Nasional juga akan ketahuan oleh para volunteer ini. Jika mereka
teliti.
Hanya dengan melakukan check packing
ini, sebenarnya merupakan sebuah jaminan kawasan TNGGP bebas sampah.
Minimal sejak dari Pos Panyancangan sampai puncak. Sebab tetap ada
wisatawan yang tidak kena proses check packing ini. Yaitu wisatawan yang ke air terjun Cibereum. Nah wisatawan bukan pendaki inilah yang juga berpotensi nyampah di kawasan TNGGP.
Yang jadi pertanyaan selanjutnya adalah. Siapkah tenaga yang akan rutin melakukan check packing
ini? Mengingat anak-anak Montana pun merupakan orang bebas yang tidak
digaji oleh BBTNGGP. Sedangkan petugas Polisi Hutan pun juga banyak
kerjaan, tidak hanya memelototi barang bawaan pendaki dan wisatawan non
pendaki di TNGGP. Terus akan dibebankan kepada siapa petugas yang harus
melakukan check packing ini?
Jika ritual check packing ini dilakukan secara teliti dan rutin tanpa pandang bulu. Entah bagaimana caranya, dan siapa yang melakukannya maka bukan imposible
sampah di TNGGP bisa musnah. Hanya bagaimana caranya, inilah yang harus
kita rembug dengan para pendaki, volunteer, dan pihak BBTNGGP. Namun
untuk duduk bareng antara pendaki dan pengelola untuk saat ini
kelihatannya agak susah. Dua pihak ini masih sedikit bersitegang masalah
komersialisasi TNGGP yang dituduhkan oleh para pendaki ke pengelola
TNGGP.
(Sumber: Bernard T. Wahyu Wiryanta – The Wildlife Photographers Community)